Thursday, April 5, 2007

Waspadai Kesulitan Belajar



Waspadai Kesulitan Belajar pada Anak
Kompas Cybermedia
Minggu, 12 Februari 2006


Nilai Ardhi (7) dalam beberapa pelajaran bisa dibilang cukup. Untuk pelajaran Sains, Pendidikan Lingkungan Kehidupan Jakarta, dan IPS, siswa kelas II SD swasta ini bisa mendapat nilai delapan. Namun untuk pelajaran Bahasa Indonesia, terutama bidang Apresiasi Sastra, beberapa kali Ardhi harus mengikuti ulangan perbaikan.

Menurut gurunya, Ardhi belum mampu mengerjakan soal itu karena dia kurang membaca. Jika Ardhi rajin membaca cerita, otomatis akan pandai membuat karangan atau menjawab pertanyaan. Jawaban sang guru tak memuaskan si anak maupun orangtua. Masalahnya, setiap malam sebelum tidur Ardhi pasti membaca buku cerita. Dulu, sebelum dia bisa membaca sendiri, setiap malam sang ibu membacakan cerita untuknya.

Rupanya banyak anak seusia Ardhi yang juga kesulitan belajar, dalam arti memahami isi sebuah bacaan. Menurut psikolog Universitas Indonesia, Lucia RM Royanto, kesulitan belajar bisa terjadi karena anak belum mempunyai strategi metakognitif. Maksudnya, anak belum terbiasa memetakan persoalan sehingga dia kesulitan memahami secara komprehensif.

Misalnya, jika seorang anak membaca, dia akan membaca begitu saja tanpa memahami isi. Ketika diberi pertanyaan, seperti siapa nama tokohnya, apa isi cerita, atau bagaimana akhir cerita, dia tak bisa menjawab.

Kemampuan memahami persoalan ini tak hanya terjadi saat seseorang membaca buku. Pada saat seseorang berbicara atau berkomunikasi dengan orang lain, seharusnya ia mampu memikirkan apa yang sedang dibicarakan. Demikian pula ketika seseorang sedang mengerjakan masalah dalam Matematika, ia akan memikirkan langkah atau prosedur yang harus ditempuh agar memperoleh jawaban paling tepat.

Seorang anak yang memiliki strategi metakognitif akan segera sadar, dia tak mengerti persoalan dan mencoba mencari jalan keluar. Misalnya, ketika dia sedang membaca, tiba-tiba tersadar bahwa dia tak mengerti apa yang dibaca, dia akan mengulang lagi bacaan itu. Atau, bisa juga si anak bertanya kepada orang lain tentang persoalan yang tak dimengerti. Jika dia melakukan hal itu, berarti mempunyai strategi metakognitif.

Namun, Lucia mengatakan, orangtua tak perlu cemas bila anak belum mempunyai strategi metakognitif, selagi usianya masih di bawah tujuh tahun.

”Jika seorang anak tidak bisa membedakan antara huruf d dan b atau p dan q, jangan langsung dicap tidak mampu belajar. Atau ketika ia menulis masih ada huruf-huruf yang hilang atau ketinggalan tak ditulis, itu merupakan hal biasa untuk anak usia di bawah tujuh tahun. Mereka masih dalam proses pemahaman,” tutur Lucia.

Lucia menambahkan, jika orangtua menemukan si anak masih melakukan kesalahan serupa padahal usianya lebih dari tujuh tahun, sebaiknya waspada. Jangan-jangan anak memang mengalami kesulitan belajar. Jika hal ini tidak diintervensi secepat mungkin, akan menyulitkan anak pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

”Orangtua jarang menyadari anak mengalami kesulitan belajar dan hanya menyangka anaknya tak pandai. Padahal, anak dengan kesulitan belajar biasanya memiliki kecerdasan rata-rata, bahkan ada yang di atas rata-rata. Tetapi karena dia sulit belajar, nilainya jelek dan dicap bodoh,” katanya.

Strategi metakognitif

Ada perbedaan mendasar antara strategi kognitif dan strategi metakognitif. Strategi kognitif membantu anak mencapai sasaran melalui aktivitas yang dilakukan. Adapun strategi metakognitif membantu anak memberikan informasi mengenai aktivitas atau kemajuan yang dicapai. Di sini, strategi kognitif membantu pencapaian kemajuan, sedangkan strategi metakognitif memonitor kemajuan yang dicapai.

Pemantauan secara metakognitif dan regulasi diri sangat membantu anak dalam aktivitas kognitif. Sebagai contoh, ketika anak sedang membaca dan tak memahami sebuah kata, maka ia akan berhenti dan melakukan beberapa kemungkinan. Ia dapat mengulang kembali bacaan itu, lalu memikirkan kembali kata yang tak dimengertinya, atau membaca terus dan berharap akan menemukan arti kata tersebut pada bagian lain. Kemungkinan lain, ia akan mencari arti kata tersebut dalam kamus atau bertanya kepada orang lain.

Dengan memiliki pemantauan dan regulasi diri, seorang anak akan tahu di mana ia berada sehubungan dengan tujuan yang ingin dicapainya. Dia juga dapat meregulasi diri sendiri dengan melakukan perencanaan, pengarahan, dan evaluasi.

Seorang anak yang sudah memiliki strategi metakognitif akan lebih cepat menjadi anak mandiri. Dia dapat mengatur diri sendiri, lebih aktif berusaha mengembangkan diri dan menentukan tujuan. Mereka juga mampu memotivasi diri, serta berusaha mencapai tujuan dengan strategi yang telah direncanakan lebih dulu. Dengan kemandirian yang dimilikinya, niscaya keberhasilan akan lebih mudah diraih.

Melatih Metakognitif dalam Membaca

Pendekatan metakognitif dalam membaca mencoba menggabungkan berbagai hal agar anak tahu apa yang dibaca dan memiliki strategi yang dapat membantunya dalam memahami bacaan. Selain itu, anak juga perlu menunjukkan perilaku regulasi diri dan sikap tertentu agar dapat menyelesaikan tugasnya.

Melatih anak menguasai metakognitif bisa dilakukan sedini mungkin. Caranya antara lain dengan meminta anak bercerita tentang pengalaman yang baru dialami. Anda juga bisa melemparkan pertanyaan-pertanyaan sederhana tentang bacaan yang baru dibacanya.

Mungkin pada tahap awal agak sulit karena kemampuan verbal mereka masih belum berkembang maksimal. Akan tetapi, jika sudah menjadi kebiasaan, dan orangtua dapat me

No comments: